Islam dan Budaya Lokal
OPINI
| 08 November 2010 | 16:06 754
5
Nihil
Sejauh ini Islam di Indonesia
dinilai lebih toleran terhadap budaya. Toleransi tersebut ditunjukkan dengan
adanya sikap akomodatif terhadap budaya lokal. Sikap itu mencerminkan adanya
kemampuan dan kemauan Muslim Indonesia untuk menyerap budaya lokal menjadi
bagian dari ajaran Islam. Budaya dipandang sebagai bagian yang inheren dengan
kehidupan masyarakat, sehingga tidak memungkinkan bagi sebuah gerakan yang
membawa nafas rahmatan lil’alamin memberangus sesuatu yang sudah menjadi bagian
dari masyarakat.
Kritik dan Afirmasi
Konsekuensinya, keislaman di Indonesia berbeda dengan mainstream yang berkembang di “pusat” pertumbuhan Islam. Mistisisme yang sebagian besar merupakan musuh gerakan Islam di Haramain (Mekah dan Madinah), di Indonesia justru menyatu dengan tradisi Islam.
Konsekuensinya, keislaman di Indonesia berbeda dengan mainstream yang berkembang di “pusat” pertumbuhan Islam. Mistisisme yang sebagian besar merupakan musuh gerakan Islam di Haramain (Mekah dan Madinah), di Indonesia justru menyatu dengan tradisi Islam.
Kondisi semacam ini memang
menimbulkan banyak kesalahpahaman. Bagi sebagian pengamat, Indonesia dikategorikan
sebagai “Islam yang jelek”. Kategori ini mendorong Nikki Keddie untuk meneliti
sejauhmana perbedaan Islam yang berkembang di Timur Tengah dengan di Asia
Tenggara (Indonesia). Penelitian Keddie menemukan bahwa pada dasarnya Islam
yang berkembang di Timur Tengah tidak semuanya anti terhadap budaya lokal
(budaya mistik). Di Kairo dan beberapa tempat lain didapatkan gejala yang
serupa dengan di Asia Tenggara (2000). Berarti Islam yang bercampur dengan
budaya lokal tidak khas Indonesia, dan tidak menunjukkan sebagai Islam yang
jelek. Dalam konteks tradisi Islam dalam kekhilafahan Fatimiah di Mesir (abad
ke-3/4 M), mistisisme—sebagaimana di Indonesia—juga berkembang luas. Padahal
saat itu umat Islam sedang berada pada masa keemasan peradaban.
Dengan demikian, Islam yang
bercampur dengan budaya lokal adalah gejala normal dari dinamika umat Islam.
Pergumulan dan interaksi umat Islam dengan beraneka macam budaya akan
mengondisikan munculnya karakter yang lebih akomodatif. Sebaliknya, semakin
minim interaksi umat Islam dengan kebudayaan lokal, akan semakin miskin
apresiasinya terhadap budaya lokal. Oleh penentangnya, budaya lokal dianggap
sebagai sesuatu diluar Islam, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai transenden.
Budaya adalah karya manusia, sedangkan Islam adalah karya Tuhan. Jadi penolakan
terhadap budaya lokal disebabkan oleh pendasaran agama pada sesuatu yang
transenden secara keseluruhan.
Padahal jika diteliti lebih jauh,
kandungan Al-Quran sendiri menggambarkan adanya akomodasi terhadap budaya lokal
(Arab). Respon Al-Quran bermuara pada dua kemungkinan, yakni mengkritik atau
mengonfirmasi budaya lokal tersebut. Kritik dilakukan sepanjang budaya tersebut
menistakan kehormatan manusia. Sedangkan konfirmasi diberikan kepada budaya
yang sejalan dengan cita-cita kemanusiaan. Dalam hal ini Imam Syatibi
merumuskannya secara sistematis dalam maqoshid al-syari’ah (tujuan syari’at),
diantaranta: pertama, menjaga dan memelihara kepentingan dan kemaslahatan
manusia, dan kedua, syari’at agama diberlakukan untuk dipahami dan dihayati
manusia. Jadi, relasi agama dan budaya terjadi dalam bentuk kritik dan
afirmasi. Tidak semua budaya ditolak lantaran berasal dari kreasi manusia.
Prinsip Kausalitas
Islam dibangun dengan prinsip-prinsip kausalitas: senantiasa terdapat pola sebab akibat yang dapat diteliti oleh manusia, sehingga otoritas agama tidak diserahkan kepada al-Quran secara pasif. Pernyataan senada diungkapkan oleh Ali r.a. bahwa teks al-Quran tidak bisa “berbicara”, manusialah yang membuatnya “berbicara”. Jadi, prinsip-prinsip kausalitas itulah yang menjadi pedoman dalam menghayati semangat ajaran agama. Otoritas itu tidak diletakkan secara ekstrim pada manusia semata, melainkan pada kemampuan memahami tujuan syariat. Produk pengetahuan manusia itu pun memang bersifat relatif, sebagaimana relatifnya kemampuan manusia sendiri dalam memahami pola sebab akibat tersebut.
Islam dibangun dengan prinsip-prinsip kausalitas: senantiasa terdapat pola sebab akibat yang dapat diteliti oleh manusia, sehingga otoritas agama tidak diserahkan kepada al-Quran secara pasif. Pernyataan senada diungkapkan oleh Ali r.a. bahwa teks al-Quran tidak bisa “berbicara”, manusialah yang membuatnya “berbicara”. Jadi, prinsip-prinsip kausalitas itulah yang menjadi pedoman dalam menghayati semangat ajaran agama. Otoritas itu tidak diletakkan secara ekstrim pada manusia semata, melainkan pada kemampuan memahami tujuan syariat. Produk pengetahuan manusia itu pun memang bersifat relatif, sebagaimana relatifnya kemampuan manusia sendiri dalam memahami pola sebab akibat tersebut.
Memang tidak dapat dipungkiri adanya
kontestasi di masa penyebaran Islam di Indonesia (abad ke-14 M) antara pedagang
dan pendakwah Muslim di satu sisi, dengan elit-elit lokal di lain sisi. Sikap
akomodatif Islam terhadap budaya menggambarkan adanya pengaruh elit-elit lokal
yang cukup kuat. Budaya lokal umumnya terkait dengan legitimasi terhadap
kekuasaan penguasa lokal. Karena itu semakin kuat pengaruh penguasa lokal, akan
semakin besar kemungkinan sikap akomodatif Islam terhadap budaya lokal.
Kecenderungan ini masih dinilai normal, dalam arti sejalan dengan ajaran Islam,
sepanjang budaya lokal tersebut tidak menistakan nilai-nilai kemanusiaan.
Kiprah Wali Songo dalam islamisasi masyarakat di Nusantara mencerminkan sikap
akomodatif yang berlandas pada maqoshid al-syari’ah. Budaya lokal diadopsi
sebagai instrumen untuk “membungkus” isi Islam, dan dijadikan sebagai bagian
dari ajaran Islam sepanjang itu sesuai dengan semangat memuliakan manusia.
Kentalnya warna Islam lokal di
Indonesia menggambarkan pula kualitas Islam itu sendiri. Islam tidak diturunkan
untuk “memaksa” manusia menyembah Tuhan, melainkan untuk kebaikan manusia itu
sendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar